RSS feed

Super Junior Blogger Header 1 Pictures, Images and Photos

Rabu, 16 November 2011

Bintang

this is my short story. baru coba-coba sih, wajar kalo aneh. oke lah, ngga usah banyak basa-basi lagi. cek this out!

Bintang..
Temani aku dalam kesunyian malam
Saat ku merasakan rindu yang mendalam



          Tiga bait itu yang ku tulis di atas lembaran kertas putih dalam genggamanku. Dalam setiap goresannya, kuresapi sepenuh hati. Lamunanku terbang jauh ke masa-masa indah 2 tahun yang lalu. Itulah saat-saat terakhirku melihatnya. Sahabat kecilku yang selalu ku sayang. Yang tatapan matanya selalu memberikan keteduhan.

2 tahun yang lalu...
          “Appiiiin, pinjem laptop lo dong,” teriakku manja. Seorang remaja tampan keluar dari kamarnya saat mendengar teriakanku yang kurasa memekikkan telinga.
          “Karlaa, udah gue bilang berkali-kali. Jangan panggil gue Apin lagi, gue ini udah gede. Udah bagus nama gue Alvin, masih aja lo manggil gue Apin. Lo kata gue kucingnya Upin Ipin apa?
          “sorry sorry.. udah kebiasaan. pinjem laptop lo dong,” ucapku seraya melangkah ke arah dapur untuk mengambil minum.
          Aku memang sudah tak canggung lagi di rumah Alvin. Tak heran, karena kami berteman sejak 8 tahun yang lalu. Saat aku bertetangga dengannya. Dan ternyata pada waktu itu kami satu kelas.
          “ambil sendiri di kamar gue!” jawabnya seraya melangkah keluar. Aku yang baru keluar dari dapur melihat Alvin.
          Ku hentikan langkahku. “Pin. Eh, maksud gue Vin. Mau kemana? Di luar kan hujan deres,” tanyaku khawatir. Dari kecil ia selalu sakit-sakitan, itu yang membuatku khawatir.
          “gue cuma mau duduk di teras.” Dia tersenyum simpul.
          Segera kulangkahkan kakiku menuju kamar Alvin. Saat hendak mengambil laptopnya, tak sengaja mataku tertarik melihat sesuatu yang tertata rapih di meja belajar Alvin. Kulihat salah satu diantaranya sebuah botol berisi obat. Kulihat dengan seksama. Kurasa itu adalah obat penahan rasa sakit untuk penderita kanker. Papaku adalah seorang dokter. Setidaknya aku tau sedikit obat-obatan yang pernah kulihat di klinik papa.
          “obat siapa ini? Apa ini punya Alvin? Tapi ngga mungkin ahh. Paling juga punya sodaranya. Kemarenkan ada sodaranya kesini,” pikirku dalam hati.
          Aku segera keluar dari kamar Alvin setelah membawa laptop Acer berwarna putih. Ku berjalan ke arah ruang tamu. Aku duduk bersila di atas karpet merah, ku cari posisi yang nyaman di salah satu sisi meja ruang tamu untuk meletakkan laptop Acer ini.
          Waktu terasa begitu cepat. Kulihat jam sudah menunjukan pukul 5 sore. Aku segera menghampiri Alvin di luar setelah mengembalikan laptop ke kamarnya. Aku berniat pamit padanya.
          “Vin, gue pulang dulu ya. Udah sore. Takut mama ngamuk kalo gue kelamaan maen.”
          “La, tunggu!.”
          Aku yang sudah berjalan beberapa langkah menoleh ke arah Alvin, “ada apa?”
          “La, kalo misalnya gue harus pergi jauh. Apa yang bakal lo lakuin?” ucapnya datar tanpa melihat ke arahku.
          “yaaaa, gue bakal cari lo, trus gue bakal nyusul lo. Gue tuh sayang sama lo, cuma lo yang bisa ngertiin gue. Lo sahabat terbaik gue sepanjang masa,” jawabku panjang lebar.
          Ia terdiam. “emang ada apa sih Vin?” lanjutku lagi.
          “eee, nevermind,” ucapnya seraya melangkah masuk.
***
          Esok harinya. Kulakukan rutinitas seperti hari-hari biasa. Kumulai pagi dengan berangkat ke sekolah bersama Alvin. Kulihat ada yang berbeda dari pancaran matanya. Seperti ada yang hilang, tak kurasakan keteduhan dari tatapannya.
          Di sepanjang perjalanan pun ia terus terdiam. Tak seperti biasanya, ia selalu cerewet. Dalam hati aku terus bertanya-tanya. Namun, ku jauhkan segala pikiran buruk tentangnya.
          Kami masih saling terdiam sampai akhirnya ku beranikan diri memulai pembicaraan.
          “Vin, lo kenapa? ko dari tadi diem aja? Lo sakit?” tanyaku penuh kekhawatiran.
          Ia masih terdiam, sepertinya ia tak mendengarkanku. “Vin, ko diem?” tanyaku lagi.
          “ehh, apa La?” jawabnya gelagapan.
          “lo kenapa? ko dari tadi diem aja?”
          “gue cuma lagi ga mood aja hari ini.”
          “oooh,” aku mengangguk perlahan. “Vin, ntar sore bisa ngga anterin gue ke toko buku?” sambungku.
          “ngga bisa. Ntar sore gue harus ke rumah sakit,” jawabnya datar hampir tanpa ekspresi.
          “lo sakit Vin? Sakit apa?”
          “eeh, maksud gue, gue mau nganterin sodara gue ke rumah sakit.”
          “oooh.”
          Tak terasa kaki ini sudah melangkah di pelataran sekolah. Kulirik jam di tangan kiriku, waktu menunjukan pukul 6.47. Kupercepat langkahku menuju kelas X-1 di ujung koridor. Alvin yang berada di belakangku berusaha mengimbangi agar tidak tertinggal jauh.
          Kami pun menjalani rutinitas pagi hingga siang seperti biasa. Mengikuti pelajaran hingga jam pelajaran usai.
          Saat pulang sekolah, aku sudah tak menemukan Alvin lagi. Seperti raib di telan bumi, ia menghilang begitu saja. Padahal sejak jam pertama dia selalu di sampingku.
          Dalam perjalanan ku coba menelpon Alvin. Tapi tak ada jawaban. Ku coba berkali-kali. Namun hasilnya tetap sama, tetap tak ada jawaban. Ku coba mengiriminya SMS. Tapi tak ada balasan.
          Aku mulai khawatir dengannya, “God, Alvin kenapa?”. air mataku tidak terbendung lagi. Kurasakan butiran-butirannya menetes di kedua pipiku. Ada perasaan takut saat itu.
***
          Satu minggu telah berlalu sejak terakhir kali aku bertemu Alvin. Rumahnya pun selalu terlihat sepi. Tapi, kemarin mama melihat mas Rio [kakaknya Alvin] keluar dari rumahnya membawa sebuah tas besar.
          Aku terpikir untuk menghubungi mas Rio. Namun, tak ada jawaban darinya. Mama yang melihatku terus uring-uringan merasa iba. Mama membantu menghubungi mama Vina [mamanya Alvin]. Sudah berkali-kali di hubungi, hp mama Vina selalu tidak aktif.
          Aku hampir putus asa. Kedua mataku mulai sembab karena terus-terusan menangis. Saat aku sedang melihat bintang dari kamarku, tiba-tiba ponselku berdering. Kulihat di layarnya, panggilan masuk dari mas Rio.
          “halo mas?”
          “halo. De, kamu sekarang lagi dimana?”
          “di rumah mas. Ada apa yah?”
          “Alvin pengen ketemu kamu, mas jemput sekarang yah.” Telpon di tutup. Ku tau dari nada bicaranya mas Rio sedang terburu-buru.
          Tapi, tak bisa ku pungkiri. Aku merasa sangat bahagia. Aku akan segera bertemu dengan Alvin. Kurasa seperti menemukan kepingan puzzle hidupku yang sempat hilang kemarin-kemarin.
          Tak berapa lama, kudengar suara mobil terparkir di depan rumahku. Aku segera keluar melihatnya. Ternyata itu mas Rio. Aku di ajaknya ke suatu tempat dimana Alvin berada.
          “mas, sekarang Alvinnya dimana?” tanyaku memulai pembicaraan.
          “dia di rumah sakit sekarang.”
          Aku tersentak kaget, “haah, sakit apa mas?”
          “dia belom bilang sama kamu de?”
          “belom.”
          “ntar kamu tanya aja deh sama dia”
          Perjalanan ke rumah sakit terasa begitu singkat, karena mas Rio memacu mobilnya dengan cepat. Setelah tiba di halaman rumah sakit aku dan mas Rio segera berlari masuk.
          Sekarang aku berdiri di depan ICU. Kubuka pintu dengan perlahan. Yang kulihat adalah anak laki-laki yang terbaring lemah dengan selang infus di tangan kirinya. Seorang wanita paruh baya menghampiri tempatku berdiri. Terlihat kedua matanya sembab.  Ia menatapku lekat, kedua matanya berkaca-kaca. Aku segera memeluknya.
          “Karla, Alvin pengen ketemu sama kamu. Dia pengen ngomong sesuatu katanya,” ucapnya sambil terisak.
          “iya ma. Mama Vina jangan nangis.” Kuhapus air mata yang membasahi pipinya.
          Aku mendekati tempat Alvin terbaring. Ia tersenyum melihatku. Tak terasa butiran air mataku jatuh. Alvin yang melihatnya segera menghapusnya.
          “La, gue sayang sama lo,” lirihnya pelan.
          “gue juga sayang sama lo Vin,” ucapku seraya menahan tangis.
          “lebih dari temen La. Sayang gue lebih dari temen.”
          “gue juga. Gue baru sadar saat lo ngilang gitu aja beberapa hari yang lalu. Hidup gue jadi berantakan. Gue terus mikirin lo. Gue ga mau kehilangan lo! Cuma lo yang bisa bikin hati gue tenang,” ucapku panjang lebar.
          “Sorry La, sekarang gue mau pamit. Gue udah ga kuat lagi.” Kata-kata Alvin membuatku tercengang.
          “maksudnya apa Vin?”
          “dari dulu gue sakit La, Leukimia. Sorry gue ga pernah ngasih tau lo,”
          Sekarang air mataku sudah tak terbendung lagi.
          “La, gue janji. Gue ga akan pergi jauh dari lo. karena gue akan selalu ada di hati lo,’ lanjutnya lagi.
          Ia mengambil sesuatu dari sakunya, sebuah kalung berliontinkan bintang yang selalu di pakainya. Ia menyodorkannya padaku.
          “ini buat gue?” tanyaku seraya mengambilnya dari tangan Alvin.
          “yaa, itu kenang-kenangan terakhir dari gue. Tolong jaga baik-baik yaa! Itu kalung kesayangan gue.” Ia tersenyum.
          “pasti, gue pasti jaga baik-baik.”
          “gue cape La. Gue pengen istirahat. Sebelomnya gue pengen minta pelukan hangat dari sahabat terbaik gue.”
          Aku pun memeluknya, erat sekali. Rasanya tak ingin ku lepaskan. Tiba-tiba kurasakan sesuatu yang hangat menetes di punggungku. Kulihat, ternyata darah segar mengalir dari hidung Alvin. Ia pingsan. Aku yang panik segera berlari keluar memanggil dokter.
          Sekarang dokter sedamg memeriksa Alvin. Aku, mama Vina, dan mas Rio menunggu di luar dengan cemas.
          Dokter keluar dengan wajah sedih. Kemudian menghampiri mama Vina. “maaf, kami sudah berusaha sebisa mungkin. Anak ibu tidak tertolong,” ucapnya datar dan segera meninggalkan kami.
          Tangis pun pecah. Aku menggenggam erat kalung Alvin yang ada di tanganku. Aku berlari menghampiri Alvin. Kulihat, senyum di wajahnya. Mungkin dia sudah tenang di alam lain. Aku mengecup keningnya untuk terakhir kali.
***
          Hari pemakaman Alvin pun tiba. Rintik hujan selalu menemani sejak pemakaman dimulai, seolah langit ikut menangis atas kepergiannya. Dia memang bukan anak yang sempurna, tapi setidaknya dia adalah anak yang baik. Dia tak pernah mengecewakan orang-orang yang menyayanginya. Dia bagiakan bintang yang menyinari dalam gelap.
          Ketika pemakaman mulai sepi, aku masih tetap terpaku di depan makam Alvin. Air mataku jatuh seirama dengan rintik hujan. Pandanganku kosong. Angin bertiup agak kencang. Ku rasakan dinginnya merasuk ke dalam pori-pori tubuhku.
          Aku pun bangkit, memandang makam Alvin sekilas. “Vin, tetaplah di hati gue slamanya!” air mataku kembali berjatuhan, aku berlari meninggalkan makam Alvin. Karena ku tau, semakin lama ku di sini, semakin sedih hatiku ini. Alvin sudah tenang, pasti tak ingin melihatku sedih.
          “Karlaa, udah malem. Cepet tiduur!” teriakan mama menyadarkanku dari lamunanku.
          Aku pun bangkit dari tempatku duduk. Ku tengadahkan wajahku kelangit. Kulihat bintang-bintang berkilauan di atas sana. Indah, laksana senyuman Alvin yang manis.
          “Vin, tetaplah menjadi bintang untukku. Bintang yang paling terang di hati.”
THE END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Reader yang baik, saya sangat berharap kalian meninggalkan jejak setelah membaca. sepatah dua patah kata sangat bermanfaat membangun semangat saya menulis.. :)